Melihat Tradisi dan Sejarah Mansorandak dalam Simbol Ukiran Biak

 

tradisi mansorandak
Lambang Mansorandak, tahun 1800-an


Di seluruh dunia ada terdapat banyak sekali kepercayaan dan tradisi yang dilakukan oleh berbagai suku bangsa di masa lampau. Beberapa kepercayaan dan tradisi bahkan masih berkembang dan dipraktekan pada zaman modern. Salah satu tradisi yang masih dijalankan oleh orang Biak Numfor di tanah Papua, dan masih bisa kita dijumpai adalah tradisi "Mansorandak". Tradisi Mansorandak ini mengalami banyak perubahan setelah akhir tahun 1800-an. Pada masa kini proses Mansorandak berbeda dengan yang dilakukan pada masa lalu.  

Dalam artikel ini kita akan membahas sedikit tentang sebuah lambang ukiran atau motif yang menggambarkan tentang tradisi mansorandak. Ukiran tersebut memaknakan sebuah proses perjalanan seseorang yang ikut pertama kali kesuatu tempat yang jauh. Tapi, sebelum membahasnya, mari kita telusuri terlebih dahulu apa arti kata mansorandak. 

ETIMOLOGI KATA "MANSORANDAK (BAN MKAMOR)"

Istilah "Mansorandak" berasal dari bahasa Biak, istilah ini digunakan oleh berbagai dialek penuturan bahasa Biak. Mansorandak atau Manbesorandak secara harfiah terdiri dari beberapa kosa kata yang membentuk aglutinasi yang menciptakan sebuah istilah [Man-be-so-randak] yang berarti orang yang ikut pertama kali ke suatu tempat. Maksudnya seseorang yang keluar untuk melakukan perjalanan jauh ke suatu tempat yang belum pernah dia pergi sebelumnya. Upacara ini disertai ritual penyucian diri. Ritual ini dinamakan pananai mansorandak atau disebut juga wor ban mkamor  (ban mgamor) secara harfiah mencuci mata atau mencuci muka. Kata ini memiliki kesamaan makna dalam bahasa Waropen Kai. Orang Waropen menyebutnya Siafu yang berarti melihat untuk pertama kali tempat-tempat baru. Istilah ban mkamor ini menjelaskan bahwa hanya wajah (muka)lah yang dicuci, bukan kaki sebab tidak ada istilah dalam bahasa Biak yang menyebutkan tradisi cuci kaki atau tradisi injak piring. Di masa lalu tidak ada istilah 'injak piring' sebagaimana yang kita lihat masa kini. 

Penulis & pemerhati bahasa dan budaya Byak, Bapak Malex Kmoer, mengatakan, "Orang Biak menghayati tanah, air darat dan laut, gugusan pulau-pulau yang dimana hidup dan berdiam etnik Biak adalah tempat suci, terbebas dari bahaya yang mengancam nyawa (Saprop manseren). Semua orang Biak (tua, muda) yang pernah keluar Biak dan kembali, harus melakukan mansorandak (ritual menyucikan diri)". Bagaimana ritual ini dilakukan pada masa lalu? Untuk menjawabnya, mari kita lihat penjelasan dari penulis dan pakar kebudayaan Biak-Numfor, Dr. F. C. Kamma, dalam catatannya dia menguraikan upacara ini ke dalam beberapa bagian: 

"Munara pananai mansorandak (ma bangmamor) (mencuci muka, didahului upacara dengan busur yang dipentang). Kalau seorang pemuda atau juga seorang yang lebih tua untuk pertama kali mengadakan perjalanan jauh ke daerah yang tak dikenal, maka dilakukanlah upacara-upacara ini: 

a. Pada waktu berangkatnya manbesorandak (orang yang ikut untuk pertama kali) pergilah semua anggota keluarganya (dari keretnya sendiri dan dari keret ibunya) ke pantai, dengan tangan mereka mencidukkan air laut ke dalam bumbung, sementara masing-masing dari mereka menyebutkan nama dari besorandak itu. Air dalam bambu ini disimpan terus selama berlangsungnya perjalanan itu. (Sesungguhnya ini adalah magi imitatif (tiruan): Seperti tenangnya air di dalam bambu itu, demikianlah pula tenangnya laut bagi orang-orang yang mengadakan perjalanan itu).

b. Tujuh hari sesudah keberangkatannya itu, orang-orang yang tinggal di rumah mengadakan munara besorandak. Dalam jiwanya mereka itu ikut serta dalam perjalanan, sementara lagu-lagu dinyanyikan agar perjalanan itu menguntungkan. Kalau seorang mansorandak mati dalam perjalanan, maka awak perahunya membawa pulang cetakan kaki yang dibuat dengan kapur di atas papan, dan orang akan berkabung. Kalau perjalanan itu menguntungkan, maka sekembali di rumah dilangsungkanlah:

c. Munara pananai mansorandak dan (wor) bangmamor. Kalau terdapat beberapa orang baru, maka pertama-tama mambesorandak masing-masing "dilantik" atau "ditetapkan" oleh keret-keret (klan-klan) mereka sendiri. Segera sesudah matahari terbenam dan langit senja berwarna merah, maka semua anggota keret dari pihak ayah dan ibu berkumpul. Seorang di antara orang-orang lelaki yang lebih tua dari pihak ibu mengambil busur yang dipentang. Busur itu diturunkan sekitar kepala, dada dan kaki peserta inisiasi 'itu sampai ke tanah. Sementara itu para peserta menyanyikan: "Mereka telah mendayung, kami (orang-orang yang tinggal di kampung) telah mengadakan perjalanan, kamu telah mengadakan perjalanan. Kamu telah mendayung sampai menembus awan-awan di cakrawala, di sana, di barat, dan lebih jauh lagi, dan di belakang itu masih ada tanah lagi". Lalu busur dan mansorandak itu diangkatkan dari tanah, pemuda itu digerak-gerakkan, mula-mula ke kiri lalu ke kanan di dalam lingkaran busur, hingga simpul tali busur itu terlepas. Hal ini dilakukan tiga kali berturut-turut dalam suasana sangat tenang. Sesudah itu bumbung berisi air laut itu diambil, yaitu bumbung yang disimpan di rumah selama berlangsungnya perjalanan itu, dan dengan air ini muka peserta inisiasi itu dibasuh, dan sesudahnya sisanya dituangkan di atas kepalanya. Juga dalam melakukan ini, semua orang diam, tetapi langsung sesudah upacara yang terakhir itu meledaklah sorak-sorai dan nyanyian. 

Pesta itu akan berlangsung sampai pagi berikutnya, dan nyanyian-nyanyian yang cocok dari antara lagu-lagu yang jumlahnya 22 itu diperdengarkan, diseling-seling dengan makanan dan kudapan. Dalam mansorandak yang tersendiri itu hanya hadir sanak keluarga yang paling dekat, tetapi kalau di antara para peserta perjalanan (manakia) itu terdapat anak dari nakhoda (manaubores) perahu, maka semua penghuni kampung itu pun ikut serta dalam upacara yang diselenggarakan secara umum itu. Upacara munara ini bahkan dapat mengambil waktu 7 malam. Untuk munara ini dan munara-munara yang lain berlaku: Hanya kalau bekal yang tersedia memungkinkan, maka orang berpesta selama jumlah malam yang dipandang paling bagus. Dalam hal ini prestise ikut memainkan peranan". (Lihat Kamma, 1981:283-284)
 

SEBAGAI JIMAT & SIMBOL KEMAKMURAN

Suku Biak, di masa lalu tidak mengenal tulisan dalam bentuk huruf moderen seperti abjad latin yang kini kita gunakan sekarang. Sebaliknya, mereka mengenal berbagai simbol-simbol atau lambang-lambang dalam bentuk piktograf dalam sebuah relief atau ukiran. 

Tradisi mansorandak diukir menjadi sebuah pesan berupa ukiran/simbol/lambang yang bisa dipahami makna dan alur kisahnya. Selain itu, ukiran mansorandak digunakan juga sebagai jimat keberuntungan dan perlindungan kepada mereka yang hendak melakukan pelayaran.  Jimat ini biasanya ditaruh di depan pintu rumah. Kaum lelaki yang akan pergi berlayar, khususnya para pemuda, diharuskan untuk melewati benda ini.  Ukiran simbol mansorandak seperti gambar di bawah ini, memiliki unsur-unsur yang saling berkaitan terhadap kepercayaan leluhur. Sehingga tradisi atau kepercayaan itu diukir dalam bentuk simbol yang diyakini sebagai jimat yang bisa memberikan perlindungan dari berbagai unsur luar yang bisa menyebapkan malapetaka sewaktu seseorang pergi dan kembali ke kampung halamannya. 

Ukiran mansorandak ini terdiri dari beberapa bagian utama misalnya: manusia yang disebut mansorandak (snonbesorandak)Saren (maryai): busur panah, yang memiliki makna lain yaitu paik (bulan). Terlihat juga ukiran yang menggambarkan soren bebrin (laut yang teduh), mereka yang melakukan pelayaran berharap mereka bisa tiba sampai tujuan dengan selamat tanpa gangguan laut yang bergelombang.     


mansorandak


Nah, karena ini berkaitan dengan simbol kemakmuran dan perlindungan, sehingga mansorandak atau ban mkamor masih sangat erat kaitannya dengan apa yang disebut Worwark Mararen yang berarti melindungi kerabat yang melakukan pelayaran. Biasanya, "upacara ini diadakan di sebuah rumah yang atapnya untuk sementara dicopot, agar orang dapat dengan lebih terang melihat bulan. Kalau mereka memang melihat bulan muda itu terbit, yang berarti di langit yang cerah, maka mereka menamakan itu pertanda baik: orang-orang kita juga akan melihat bulan itu, mereka akan menyanyi juga (sor) dan beruntung". (Lihat Kamma, 1981:309) 

Tradisi ban mkamor atau mansorandak sampai hari ini masih terus dilakukan. Namun, jika diamati tradisi yang dilakukan pada masa lalu berbeda dengan yang dilakukan jaman sekarang. Prosesnya pun tidak sama lagi. 

Post a Comment